Pada masa khalifah Turki Ustmani, bidang keagamaan mempunyai posisi dan kedudukan yang sangat penting sekali. Pendapat seorang Mufti (pemberi fatwa) menjadi rujukan bagi khalifah untuk memutuskan setiap perkara dalam pemerintahan, dan seluruh punggawa pemerintahan juga takluk pada agama. Mazhab yang berkembang pada masa itu adalah mazhab Hanafi, syari’at Islam menjadi aturan dalam kepemerintahaan turki Ustmani, sehingga negara turki saat itu begitu cepat berkembang.
          
Tasawuf juga ikut berperan yang sangat besar dalam pemerintah turki Ustmani, ini dibuktikan dengan berkembangnya bermacam-macam tarekat, sampai-sampai tarekat benar-benar membumi dan menjamur diseluruh tubuh kekhalifahan. Tidak heran jika setiap pribadi di Turki saat itu pasti tergabung dalam halaqah sebuah tarekat, tidak perduli ia tua ataupun muda. Bahkan tarekat sampai memasuki wilayah yang begitu dominan kala itu, yakni wilayah pemerintahan dan kemiliteran. Ada dua tarekat yang begitu besar di Turki dan dua itulah yang mencengkram dua wilayah besar di atas. 

Pertama adalah tarekat Maulawiyah yang begitu kental budayanya di ‘istana’ kerajaan. Tapi kami tidak  akan memaparkan begitu banyak tentang tarekat Maulawiyah dan pemerintahan Turki Ustmani disini, sebab disini kami akan memaparkan tentang tarekat Bektasyi yang begitu menancap pengaruhnya di tubuh kemiliteran Turki Ustmani. 

Tarekat Bektasyi dibuka oleh Bektasyi Veli yang berasal dari Khurasan dan menjadi terkenal di Anatolia pada tahun 1281. Ia termasuk salah satu dari sejumlah tokoh Tasawuf yang hijrah ke wilayah kekuasan Ustmani ketika Genghis Khan menyerbu Asia Tengah. Selanjutnya Tarekat Bektasyi menjadi begitu berpengaruh pada kemiliteran Turki, terutama pada pasukan Janisary. Pasukan yang kemudian menjadi ciri khas Ustmani ini, pada kenyataannya memiliki ketaatan yang luar biasa pada sisi agama, dengan bukti, tumbuh suburnya tarekat Bektasyi dikalangan mereka. Melalui pasukan ini pulalah Ustmani melancarkan serangannya dan menancapkan benderanya dengan begitu lama pada tanah-tanah bangsa Eropa. 

Tidak hanya itu, sekalipun tarekat Maulawiyah berkembang pada sisi pemerintahan, ternyata tarekat yang dibuka oleh Maulana Jalaludin Rumi ini juga merambah bidang kemiliteran, tepatnya pada perang dunia pertama. Memang agak ironi mengingat tarekat Maulawiyah yang merupakan tarekatnya para seniman, ternyata bisa ikut berperang juga. Tapi kita tahu, bahwa ketika hati ini telah cinta pada Ilahi, dan panggilan jihad telah menyeru, siapa dan dimanapun serta bagaimanapun sang pencinta, ia pasti akan ikut bertindak. 

Setelah Sultan Murad II meninggal dunia, pemerintahan kerajaan Turki Usmani dipimpin oleh putranya sendiri bernama Muhammad II atau Muhammad Al-Fatih. Ia diberi gelar Al-fatih karena dapat menaklukkan Konstantinopel. Muhammad Al-Fatih berusaha membangkitkan kembali sejarah umat Islam sampai dapat menaklukkan Konstantinopel sebagai ibukota Bizantium. Konstantinopel adalah kota yang sangat penting dan belum pernah dikuasai raja-raja Islam sebelumnya.  

Seperti halnya raja-raja dinasti Turki Usmani sebelumnya, Muhammad Al-Fatih dianggap sebagai pembuka pintu bagi perubahan dan perkembangan Islam yang dipimpin Muhammad.Tiga alasan Muhammad menaklukkan Konstantinopel, yaitu: Dorongan iman kepada Allah SWT, dan semangat perjuangan berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw untuk menyebarkan ajaran Islam.


Kota Konstantinopel sebagai pusat kemegahan bangsa Romawi. Negerinya sangat indah dan letaknya strategis untuk dijadikan pusat kerajaan atau perjuangan. Usaha mula-mula umat Islam untuk menguasai kota Konstantinopel dengan cara mendirikan benteng besar dipinggir Bosporus yang berhadapan dengan benteng yang didirikan Bayazid. Benteng Bosporus ini dikenal dengan nama Rumli Haisar (Benteng Rum). 

Benteng yang didirikan umat Islam pada zaman Muhammad Al-Fatih itu dijadikan sebagai pusat persediaan perang untuk menyerang kota Konstantinopel. Setelah segala sesuatunya dianggap cukup, dilakukan pengepungan selama 9 bulan. Akhirnya kota Konstantinopel jatuh ke tangan umat Islam ( 29 Mei 1453 M) dan Kaitsar Bizantium tewas bersama tentara Romawi Timur. Setelah memasuki Konstantinopel disana terdapat sebuah gereja Aya Sofia yang kemudian dijadikan mesjid bagi umat Islam. 

Diceritakan dalam berbagai literatur sejarah, bahwa seluruh anggota pasukan Muhammad Al-Fatih adalah pengamal tasawuf. Sultan sendiri adalah penganut shufi Tarekat Naqshabandiyah. Tidak lain, beliau mempelajari atau mendapatkan dari ulama-ulama dizamannya, khususnya dari Syaikh ‘Aq Syamsuddin.Sedangkan para anggota pasukan Turki Utsmani, khususnya pasukan Janissary yang merupakan pasukan inti adalah shufi Tarekat Bektasiyah. Adapun unit-unit pasukan lain, seperti Resimen Anatolia dan tentara irreguler hampir semuanya juga shufi dari berbagai macam Tarekat, seperti Thariqat Maulawiyah, Qodiriyah, Naqshabandiyah dan lain sebagainya. 

Tulisan diatas saduran dari berbagai sumber :

Sejarah Peradaban Islam

Majelis Rabbani