Konsep Ketasawufan Menurut K.H. HASYIM MUZADI
Kesyukuran kita kepada Allah SWT, dimana para pembawa-pembawa Islam pada abad pertengahan masuk keindonesia dengan lengkap, ada ajaran tentang tauhid, ada ajaran tentang ibadah, ada ajaran tentang syariah, ada ajaran tentang mua’amalah, ada juga ilmu Fiqih diajarkan, ilmu dakwah dan ilmu tasawuf, ada juga ajaran tentang jihad fisabilillah. Itu semua dirangkai didalam sebuah aturan yang serasi, tidak bertabrakan satu dengan yang lainnya.

Pembawa- pembawa Islam indonesia ini, mengajarkan Islam ini tidak melalui kekuasaan, tetapi melalui kebudayaan (al-Tsaqofah), melalui kesejahteraan masyarakat yakni al-iqtisad dan melalui ilmu dan pemikiran. Sehingga awet walaupun ganti berganti kekuasaan, itu umat islam yang dibawah tidak goyang karena pergantian itu. Lah ini beda dengan Islam di Andalusia, yang masuk melalui proses perang, ketika kekuasaan dipegang maka Islamnya tersiar maka ketika berganti menjadi hilang semuanya. Maka ini suatu pelajaran, marilah Islam kita ini kita cantolkan di ilmu, di kesejahteraan rakyat dan di kebudayaan.
Tapi yang ingin saya ketengahkan disini, para pembawa-pembawa Islam itu mempunyai daya tarik yang sangat tinggi karena kesufiannya, beliau tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya, tapi dirinyalah yang untuk umat dan untuk Allah SWT. Proses ini melalui proses tasawuf bagaimana seorang berjuang untuk perjuangan bukan memperjuangkan dirinya sendiri.

Allah SWT Berfirman dalam Al-Qur’an :


وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ     

“Berjuanglah kamu dijalan Allah dengan menggunakan hartamu, dan menggunakan dirimu dijalan Allah (Surat At-Taubah ayat 41)”

Nah didalam diri itu ada apa saja? Ada pikiran, ada tekad, ada keberanian, ada persatuan dan bi Amwalikum dan hartamu.

Oleh karenanya ilmu dengan hukum Islam, yang biasanya didalam agama kita disebut dengan ilmu fiqih, ini haram, ini halal, ini makruh, ini wajib, ini sunnah muakkad, ini syubhat dan sebagainya. Itu adalah ilmu tentang Islam, tapi bagaimana kita memiliki ilmu itu berobah menjadi akhlak kita, itu tidak cukup hanya mendengar pengajian.

Semuanya sudah tau “Shalat sehari lima kali, tapi masih banyak yang lima hari sekali”, padar hadiran tertawa “Mungkin yang tersenyum ini pengalaman” Ujar Kiyai Hasyim Muzadi. Jadi untuk mengerti bahwa shalat lima kali itu mudah, yang sulit lima kali betulannya itu.  Nah disini proses lain yakni kerelaan kita kepada Allah SWT terhadap syariatnya. Disini sangat tergantung pada posisi hati kita, bukan pada posisi pengetahuan kita. Oleh karenyan orang-orang alim pada zaman dahulu itu rata-rata sufi ahli tasawuf, “Ya.. tasawuf itu mengikuti tarekat apa ya monggo mawon asal mu’tabarah”, tetapi beliau sufi. Sehingga didalam menyampaikan ilmunya, ini haram, ini halal, itu betul-betul Lillah, nah ketika hukum itu diminta untuk diubah maka beliau tidak akan mau mengubah “Loh ini bukan dari saya, ini bukan nafsu saya, ini bukan dari pikiran saya, ini dari Allah SWT dan Rasulillah SAW”.

Imam Ibnu Abdillah Muhammad Idris bin Asy-Syafi’i itu dipenjara dua tahun karena membela keputusan hukumnya, nah menetapkan hukum ini satu masalah, namanya masalah fiqih tapi kejernihan hati menentukan hukum  itu bukan fiqih, tapi tasawuf. Nah sekarang sama-sama orang alim didalam Ilmu fiqih dengan hati yang sama itu jawaban bisa tidak sama.

Jadi hukum itu belum selesai, baru selesai ketika keikhlasan yang menyangga hukum itu. Baik hukum agama, hukum umum itu sama. Kalau ahli hukum mestinya membela hukum, tapi kan tidak semua, ada makelar hukum, ada jual beli hukum, ada yang sarjana hukum masuk hukuman. Jadi sebetulnya yang membedakan itu dimana? Adalah diposisi hatinya. Lah memproses posisi hatinya tidak bisa lain kecuali proses tasawuf sufiah, itu bidang keilmuannya. Jadi orang ahli tasawuf itu tidak menutup kemungkinan di ahli-ahli yang lain-lain, yang penting dia bisa memberesi hatinya meskipun  pedagang ya pedagang sufi, misalnya  dia petani, petani yang sufi, kalau jadi umara ya umara yang adil, ya begitu jadinya.

Jadi tasawuf itu bukan sesuatu berdiri sendiri enggak mau bergabung dengan sektor-sektor yang lain, endak begitu. Orang-orang ahli ilmu pengetahuan umum pada zaman dulu Al-kindi, Al-Farabi, ada Ibnu Sina,  itu orang mereka orang-orang sufi yang kemudian memikirkan ilmu alam, ilmu al-jabar.
                                                                                              
Khalifah Al-Mansur itu raja. tapi sufi, kalau dia dikantor sudah selesai kerja lampunya dimatikan, sebab lampu ini yang bayar negara, kalau enggk kerja enggk mau dikantor ya dirumah. Jadi dengan kesufian ini orang akan menjadi shaleh pada bidangnya masing-masing.

Tulisan ini disarikan dari ceramah beliau pada salah satu acara. Untuk lebih lengkapnya bisa disaksikan pada vidoe dibawah ini, semoga bermamfaat :