Resensi :
Bisri. Sudah tentu kita bisa
mendekati puisi-puisinya melulu sebagai karya seorang penyair tanpa
mempedulikan sosok penulisnya sebaga seorang ulama. Namun, pendekatan seperti
itu akan membuat puisi-puisinya tercerabut dari tanah tempat dia tumbuh dengan
subur, tanah yang bisa menjelaskan banyak hal tentang puisi-puisi itu sendiri
dan Mustofa Bisri pertama adalah seorang ulama. Namun sebaliknya, mendekati
puisi-puisinya melulu sebagai karya ulama bisa membuat kita meragukan
kesungguhannya mengexplorasi bahasa.
Kemunculan K.H. Mustofa Bisri
atawa Gus Mus dalam blantika sastra Indonesia memberikan angin segar, tidak
saja bagi puisi Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat Indonesia secara umum. Betapa
tidak. Puisi-puisinya adalah suara kritis dari pedalaman pesantren, terdengar
nyaring, keras, religius, namun juga jenaka. Pada 1980-an, kebanyakan puisi
protes sosial bernada marah, seakan diucapkan dengan tangan mengepal dan mata
mendelik. Nah, Mustofa Bisri muncul dengan puisi protes sosial yang amat keras,
namun dengan wajah tersenyum. Puisi-puisinya membuat kita geram, namun juga
tersenyum. Senyum pahit, tentunya.
Di tahun 1980-an, rezim Orde Baru
berada pada puncak kekuasaan otoriternya. Tidak mudah menyampaikan suara kritis
pasti ditinda bahkan dilibas. Dalam situasi itu, ada dua cara yang dilakukan
orang untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Pertama, melakukan
kritik keras dan lugas dengan resiko dilarang aparat keamanan untuk tampil
dimana-mana. Kedua, melakukan kritik secara jenaka, terutama dengan cara
menertawakan diri sendiri. Puisi-puisi Mustofa Bisri adalah suara kritis dengan
cara terbuka.
Judul : Gus Mus “Satu Rumah Seribu Pintu”
Penulis : Labibah Zain & Latiful Khuluk
Cetakan
I : Mei 2009
Penerbit : Fakultas
Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta – PT. LKIS Printing Cemerlang
Untuk membaca buku tersebut klik disini
0 Comments
Posting Komentar