Malam semakin larut, hawa dingin mengendus menciumi kulitku menyelinap masuk memaksa menembus kedalam tulang-tulangku. Tanganku menyusuri kedalam tas berwarna hitam, dan mengambil baju sweater yang tadi dibeli di kota takengon. Kemudian cepat-cepat saya pakaikan ketubuh, hawa dingin yang semakin menusuk tulang. Teman-teman yang lain juga mengenakan baju anti dingin mereka masing-masing. Ketika kami sampai kebawah, dimana teman-teman pendamping sudah lebih dulu berada dibawah, pemandangan yang unik ketika kami tiba dibawah, suasana semakin ramai dan sibuk dengan tugas masing-masing. Sebagian teman-teman sedang mendirikan kemah atau semacam tenda, untuk tempat kami berteduh. Para ladies dibantu beberapa pendamping yang lain, sedang mempersiapkan makan malam, asap mengepul dari dandang dapur umum.

Terlihat beberapa tenda yang sudah siap untuk berteduh, kemudian kami menuju ke balai “semacam tempat istirahat yang terbuat dari kayu”, letak balai tersebut berdekatan dengan lereng bukit disamping danau laut tawar. Perempuan dan anak-anak yang umumnya adalah keluarga dari pendamping dan dinas sosial sudah menempati sebahagian balai tersebut. Kami mengambil tempat disebelah mereka, dan menaruh tas-tas yang kami kebalai itu. Rasa lapar dan haus mulai terasa, kami menuju kedapur umum untuk melihat teman-teman yang lain sedang mempersiapkan makan malam.

Riak ombak kecil terdengar disamping tempat kami berteduh, angin sepoi-sepoi menderu dari kejauhan. Kami mencoba menghampiri pinggir danau laut tawar, kaki-kaki kami mulai menginjak bebatuan kecil, “Aduh that brat leupie, (Dingin sekali)”  ucap Tarmizi, air laut mulai membasahi kaki kami, terasa dingin sekali ketika masuk ke pori-pori kaki seperti kita sedang berada dikutub utara, begitulah perumpamaan dinginnya danau laut tawar ketika malam hari. Basuhan air dingin itu juga menempel pada wajah-wajah kusut kami.    

Suasana semakin ramai, kesibukan masing-masing mulai terasa, dari kejauhan terlihat dipinggir danau laut tawar, para ladies sedang menyiang ikan tongkol dan mencuci dengan air danau tersebut untuk dipanggang sebagai menu makan malam para keluarga besar dinas sosial dan pendamping pkh. Pak Joel, juga ikut terlihat nimbrung diantara para ladies untuk membantu menyiang ikan. Api untuk membakar ikan pui mulai menyala, asap mengepul kesana kemari, sesekali tiupan angin menerpa asap yang keluar dari tempat tungku api yang sudah menyala.

Tak terasa jam ditangan kami sudah menunjukan pukul 10 malam Waktu Takengon dan Sekitarnya, kami dan beberapa pendamping lain mulai merebahkan badan karena kecapekan akibat perjalanan jauh untuk menuju ke tempat ini.